Bisakah DPR di Indonesia Dibubarkan?

Dalam diskursus ketatanegaraan Indonesia, pertanyaan mengenai kemungkinan pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan sebuah isu yang menyentuh aspek fundamental dari demokrasi konstitusional. Sebagai lembaga legislatif yang mendapatkan legitimasi langsung dari rakyat melalui pemilihan umum, DPR adalah salah satu pilar utama dalam sistem checks and balances. Pertanyaan tentang apakah lembaga ini dapat dibubarkan, tidak dapat dijawab hanya melalui logika politik, melainkan harus berakar pada analisis mendalam terhadap konstitusi serta pandangan para ahli hukum tata negara.

Konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) pasca-amandemen, tidak memberikan ruang eksplisit bagi mekanisme pembubaran DPR oleh presiden, lembaga lain, atau bahkan oleh kekuatan politik tertentu. Hal ini berbeda dengan beberapa negara lain yang menganut sistem parlementer, seperti Inggris atau Jepang, di mana perdana menteri memiliki kewenangan untuk membubarkan parlemen dan menggelar pemilu baru. Indonesia, dengan sistem presidensialnya, menempatkan DPR sebagai lembaga yang relatif independen dan tidak berada di bawah subordinasi eksekutif. Dengan demikian, dari sudut pandang normatif, tidak terdapat celah konstitusional yang memungkinkan presiden atau pihak mana pun untuk secara sah membubarkan DPR.

Para ahli hukum tata negara di Indonesia telah menggarisbawahi hal ini dengan tegas. Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, menekankan bahwa dalam kerangka sistem presidensial, stabilitas DPR merupakan syarat mutlak bagi keberlangsungan demokrasi. Menurutnya, pembubaran DPR hanya mungkin terjadi apabila terdapat perubahan mendasar pada UUD 1945 melalui mekanisme amandemen, yang dengan sendirinya memerlukan persetujuan DPR itu sendiri. Sementara itu, Mahfud MD, seorang pakar hukum tata negara dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi lainnya, menegaskan bahwa pembubaran DPR tidak hanya inkonstitusional, tetapi juga berpotensi menimbulkan krisis legitimasi negara.

Di sisi lain, terdapat pula pandangan akademis yang lebih kritis. Beberapa ilmuwan politik, misalnya Saldi Isra, menyatakan bahwa walaupun secara formal pembubaran DPR tidak mungkin dilakukan, krisis politik yang sangat mendalam dapat memunculkan keadaan luar biasa yang mendorong perombakan struktural melalui jalur politik. Dalam skenario semacam ini, yang terjadi bukanlah “pembubaran” dalam arti teknis-konstitusional, melainkan transformasi lembaga melalui proses politik yang luar biasa, seperti sidang istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Dengan demikian, jika ditarik kesimpulan dari analisis konstitusi dan pandangan para ahli, dapat dinyatakan bahwa DPR di Indonesia tidak dapat dibubarkan dalam kerangka hukum yang berlaku saat ini. Hal ini mencerminkan prinsip dasar sistem presidensial, yaitu keterpisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif. Namun demikian, sejarah ketatanegaraan menunjukkan bahwa hukum tidak pernah sepenuhnya terlepas dari dinamika politik. Oleh sebab itu, meskipun pembubaran DPR secara formal tidak mungkin dilakukan, dinamika politik dapat melahirkan mekanisme alternatif untuk melakukan reformasi atau restrukturisasi lembaga legislatif apabila krisis besar terjadi.

Kesimpulannya, DPR adalah institusi konstitusional yang tidak dapat dibubarkan secara sepihak, kecuali melalui perubahan mendasar atas UUD 1945. Prinsip ini bukan sekadar norma hukum, tetapi juga jaminan atas keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Dalam pandangan seorang akademisi, stabilitas DPR harus dipandang sebagai bagian dari kontrak sosial antara rakyat dan negara, sehingga setiap upaya untuk melemahkan atau bahkan membubarkan lembaga ini harus ditimbang secara serius, bukan hanya dari aspek legalitas, tetapi juga dari segi legitimasi demokratis dan moral politik. 

Posting Komentar untuk "Bisakah DPR di Indonesia Dibubarkan?"